Iklan

Iklan

Ketika Jalan Dibangun Bukan Untuk Rakyat, Tapi Untuk Kepentingan Kantong

SISI RAKYAT
Kamis, 11 September 2025, 21.42.00 WIB Last Updated 2025-09-11T14:42:14Z


Di sebuah gang kecil di Kampung Penyelagan RT.001 RW.001, Desa Kemanisan, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, warga awalnya menyambut gembira datangnya proyek pemasangan paving blok. Jalan lingkungan yang sebelumnya rusak akan diperbaiki lewat program aspirasi DPRD Provinsi Banten. Harapan sederhana: jalan yang kuat, rapi, dan awet.



Namun harapan itu berubah jadi kekecewaan. Di lapangan, warga mendapati *kanstin—batu pengaman paving—tidak dipasang sesuai standar*. Dari tinggi 20 cm, sebagian hanya ditanam 3-4 cm atau bahkan tidak digali sama sekali. Bagi orang awam mungkin terlihat sepele, tapi bagi mereka yang mengerti teknik bangunan, ini fatal. Tanpa penahan yang kuat, paving blok hanya menunggu waktu untuk bergeser, retak, dan rusak.



Kekecewaan warga bertambah ketika mengetahui *upah tukang ditekan jauh di bawah standar*. Pekerja hanya menerima Rp25.000 per meter, padahal umumnya dalam RAB di anggarkan Rp50.000 hingga Rp60.000. Dengan upah semurah itu, tukang tentu tidak akan bekerja maksimal. Pekerjaan tambahan seperti menggali atau membongkar paving lama dianggap terlalu berat. Akibatnya, standar teknis dikorbankan.



Pertanyaan besar pun muncul: *ke mana larinya anggaran?*


Jika pekerja dibayar setengah harga, siapa yang menikmati sisanya? Dugaan warga: pelaksana proyek mengambil terlalu banyak bagian, sehingga sisa dana untuk upah dan mutu pekerjaan sangat minim. Jika dugaan ini benar, proyek aspirasi dewan yang seharusnya menjadi jalan keluar bagi masyarakat justru menjadi ladang keuntungan segelintir orang.



Fenomena ini bukan hal baru. Proyek “aspirasi” sering kali hanya menjadi simbol politik, bukan solusi nyata. Infrastruktur dibangun bukan demi kualitas dan keberlanjutan, melainkan demi memenuhi janji-janji reses anggota dewan. Akibatnya, jalan yang baru dibangun sudah rusak dalam hitungan bulan, sementara anggaran publik menguap sia-sia.



Warga Penyelagan tidak tinggal diam. Mereka bersiap mengirim surat resmi kepada Inspektorat, Dinas PU, bahkan DPRD itu sendiri. Mereka juga tidak segan melapor ke Ombudsman, BPK, hingga aparat penegak hukum. Bagi mereka, uang yang dipakai adalah uang rakyat, bukan milik pribadi pelaksana atau politisi.



Kasus ini seharusnya menjadi *alarm keras*. Aspirasi dewan bukan sekadar proyek seremonial. Harus ada transparansi, pengawasan ketat, dan keberanian dari aparat untuk menindak jika ada penyimpangan. Jika tidak, maka istilah “pembangunan” hanya akan jadi slogan, sementara rakyat tetap berjalan di atas jalan yang rusak—baik jalan fisik, maupun jalan keadilan.



Penulis: Sofwan, (Pemerhati Kebijakan Publik)

Komentar

Tampilkan

  • Ketika Jalan Dibangun Bukan Untuk Rakyat, Tapi Untuk Kepentingan Kantong
  • 0

Terkini

Tag Terpopuler

Topik Populer

Iklan